- Yusep Kurniawan

Breaking

Thursday, March 22, 2018


FILSAFAT ILMU
Dr. H Y Suyitno, M.Pd.

Buku "Ilmu Dalam Perspektif"
Jujun S. Suriasumantri


III. Kaidah-Kaidah Ilmu yang Masuk Akal
W.M. Davis

IV. Fakta, Kepercayaan, Kebenaran, dan Pengetahuan
Bertdand Russell


Yusep Kurniawan
1720110002




PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2017

A.  Kaidah-Kaidah Ilmu yang Masuk Akal
Suatu Dongeng Tentang Pasang
Dalam suatu cerita bahwa ada seorang pertapa yang tinggal di sebuah pantai yang sangat tekun mengamati pasang naik dan pasang surut air laut. Dengan Kesabarannya, si pertapa mencatat jangka waktu yang digunakan dua pasang naik. Kesimpulan yang dapat dia tarik dari pengamatannya adalah Jangka waktu yang diperlukan dua pasang air laut adalah 12 jam 26 menit. Peristiwa air surut dan air pasang terjadi secara bervariasi dan sistematis dalam waktu 14 hari.
Pada waktu yang bersamaan, pertapa lainnya yang tinggal di sebuah gurun sedang melakukan pemikiran mendalam terhadap gaya tarik bumi dan bulan. Sehingga pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa ketika bumi dan bulan melakukan gaya tarik-menarik, maka bulan menghasilkan sistem deformasi bumi yang berkecenderungan permukaan bumi yang dekat dengan bulan akan naik. Perputaran akan menyebabkan kenaikan tersebut berlangsung dua kali dalam sehari  atau dalam tiap 12 jam 26 menit. Kemudian dia menganalisa bahwa andaikan beberapa bagian bumi ini terendam oleh air, maka kekuatan deformasi ini akan menyebabkan air tersebut naik turun tiap 12 jam 26 menit dengan variasi tiap 14 hari dan perbedaan yang bergantian tiap 28 hari. Didorong oleh hasrat membuktikan kesimpulan dari pengamatan mereka, maka kedua petapa ini pun pergi ketempat lain untuk mengamati lebih lanjut objek yang sedang diuji kebenarannya.
Pengamatan, Penemuan dan Deduksi
Di persinggahan kafilah-kafilah, bertemulah pertapa tersebut dengan seorang penemu hipotesis, teori dan penjelasan. Pertapa pertama menarik kesimpulan tentang pasang air laut melalui pengamatan, karena dia tinggal dipantai. Sedangkan pertapa kedua sebenarnya tidak mengetahui secara langsung, namun semua didasarkan pada keyakinannya.
Pengujian
Pada tahap ini hasil dari buah pemikiran ketiga orang dalam dongeng dipersatukan oleh penonton. Penonton tersebut mengatakan bahwa hasil pengamatan dari kedua petapa dan teori, hipotesis dan penjelasan dari penemu memiliki hubungan yang sangat erat dan saling berkaitan. Penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya diikuti dengan verifikasi secara empiris dan didukung dengan fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata maka dia akan dipercaya. Oleh karena itu, untuk memastikan kebenaran dari semua yang diturunkan oleh hipotesis tersebut, maka untuk menarik kesimpulan yang mempunyai dasar yang kuat, maka pengujian secara empiris terhadap beberapa pantai dalam durasi waktu yang lama harus dilakukan.
Empat Kaidah Prosedur Ilmu
Dongeng di atas merupakan tahap-tahap yang dilakukan dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Tahap-tahap tersebut adalah pengamatan, proses pemikiran, merumuskan hipotesis dan penarikan kesimpulan dari hipotesis yang diajukan. Empat kaidah moral ini memberikan penjelasan bahwa proses pencarian ilmu didasarkan pada penggunaan rasio (akal) dan pengalaman.
Ketidaksempurnaan Ilmu
Melakukan percobaan-percobaan dan kadang kala melakukan kesalahan. Dari kesalahan-kesalahan ini akan terciptanya berbagai pengalaman-pengalaman sebagai upaya untuk memperbaiki setiap kesalahan yang ada. Buah pemikiran yang tercipta nantinya bukan pula suatu pengetahuan yang kebenarannya hakiki. Karena kesimpulan pengetahuan hasil cipta manusia sifatnya tidak permanen. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat menggugurkan hasil temuan tersebut dengan temuan-temuan terbaru.
Dari pengalaman inilah kita bisa berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada karena kita tahu bahwa ilmu pasti tidak lepas dari ketidaksempurnaan. Dan sebenarnya kesempurnaan itu terdapat pada kemampuan untuk mencapai suatu yang baru dan lebih bermakna dalam rangka menggugurkan suatu pendapat yang sebelumnya sangat kita hargai. Oleh karena itu ilmu tidak bersifat akhir maupun tidak mungkin salah. Ilmu adalah pertumbuhan dan pertumbuhan itu jauh dari kata selesai.
Hakikat Berteori
Hakekat utama untuk berteori disebabkan karena kemampuan pengamatan manusia yang terbatas. Dapat disadari bahwa banyak fakta-fakta alam yang tak dapat diamati secara langsung, baik karena gejala itu tak dapat kita tangkap, atau karena dimensinya sangat kecil, maupun karena hal itu sudah lama terjadi dan tak terulang kembali. Namun jelas bahwa semua gejala ini ada juga gejala lainnya yang dapat diamati. Jika kita benar-benar ingin memahami alam, maka gejala-gejala yang secara langsung tidak dapat kita tangkap dengan indera kita yang terbatas itu harus dijaring dengan cara lain, dan  cara yang biasa dilakukan adalah dengan berteori.
Fakta-fakta yang dapat diamati dijaring oleh indera-indera sedangkan fakta-fakta yang luput dari tangkapan indera akan terjaring oleh pikiran. Oleh sebab itu, penemuan hipotesis pada dasarnya tidak lebih dari suatu usaha mental untuk membawa fakta-fakta tak dapat ditangkap ke dalam suatu hubungan sebab akibat dengan fakta-fakta yang dapat ditangkap.
Kepercayaan
Kepercayaan merupakan faktor yang penting dalam usaha-usaha yang berani dalm menyelidiki fakta-fakta yang tak tertangkap indera. Dalam  hal ini, ilmu tidaklah berdiri sendiri dalam membangun dunia yang tak terlihat sebagai pelengkap dunia yang tampak.  Usaha seperti ini telah dilakukan oleh kegitan-kegiatan yang bukan ilmu sejak berabad-abad yang silam. Namun, sifat kepercayaan dalam kedua bidang ini tidaklah serupa. Dalam bidang bukan ilmu, kepercayaan itu ganjil, fantastis, tidak bertanggung jawab, dan tidak koheren. Sedangkan dalam bidang ilmu, ia teratur, terkontrol, rasional, dam koheren. Kepercayaan terhadap mistis merupakan contoh dari kepercayaan irrasional, sedangkan kepercayaan rasional adalah mengenai kepercayaan adanya gravitasi.
Skema Siklus Geografi
Perubahan-perubahan dari siklus geografis terjadi sangat lambat, sehingga mereka tidak dapat diikuti melainkan hanya dapat dibayangkan. Mengapa kita dapat mepercayainya? Hal ini disebabkan oleh dasar yang sangat sederhana, yakni bahwa hanya dengan jalan mempercayai skema itu maka kita dapat menghubungkan fakta-fakta yang sekarang kita lihat, baik anorganis maupun organis,dalam suatu kerangka yang beralasan dan masuk akal.



Hakekat Pembuktian Keilmuan
Hakikat sebenarnya dari pembuktian keilmuan adalah menyadari bahwa kesimpulan yang yang ditarik tidak terbukti secara mutlak; hanya percaya bahwa pernyataan tersebut mempunyai peluang besar untuk benar.
Sifat yang mencirikan semua kegiatan keilmuan yang menyebabkan sebuah kesimpulan berhak disebut keilmuan adalah sifak masuk akal, yakni semangat untuk menyelidiki secara bebas. Dimana tak terdapat pernyataan apapun yang diterima tanpa pengkajian yang seksama, dimana kesimpulan yang ditemukan harus dijelajah kemana pun dia mengarah, dan kesimpulan sebelumnya akan dirubah jika ditemukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan kesimpulan tersebut.

B.  Fakta, Kepercayaan, Kebenaran, dan Pengetahuan
Fakta
Fakta adalah apa yang membuat pernyataan itu benar atau salah. Fakta adalah sesuatu yang ada dan seseorang menyatakan suatu fakta jika itu merupakan suatu kebenaran. Fakta adalah bebas dari kemauan kita.
Kepercayaan
Percaya adalah sikap dan sifat, membenarkan sesuatu, atau menganggap sesuatu sebagai benar. Kepastian adalah sikap mental atas dasar keyakinan bahwa ada kebenaran, tetapi kebenaran yang diselidiki sendiri. Adapula kemungkinan bahwa orang memunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikkan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepercayaan itu adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lain dari kepercayaan adalah sesuatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak bisa membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun baik dalam arti yang pertama maupun dalam arti yang kedua.
Kebenaran dan Kesalahan
Kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran adalah hubungan anata kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar kepercayaan. Apabila fakta tersebut ada maka akan membuktikan bahwa kepercayaan itu benar. Fakta tersebut merupakan suatu “pembuktian” dari suatu kepercayaan.  
Kebenaran dapat dikatakan benar apabila terdapat sebuah fakta. Kepercayaan adalah benar sejauh hal tersebut mempunyai kesamaan dengan fakta. Setiap kepercayaan yang tidak semata-mata merupakan dorongan untuk bertindak pada hakekatnya merupakan gambaran, digabung dengan suatu perasaan yang mengiakan atau menidakan; di mana dalam perasaan yang mengiakan hal ini adalah benar bila terdapat fakta yang menggambarkan kesamaan dengan yang diberikan prototipe terhadap bayangan, sedangkan dalam hal perasaan yang menidakan, ia adalah benar bila tak terdapat fakta seperti itu. Suatu kepercayaan yang tidak benar
Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu subkelas dari kepercayaan yang benar. Seseorang mempercayai sesuatu yang benar tetapi belum tentu yang benar tersebut merupakan suatu pengetahuan. Namun setiap hal mengenai pengetahuan merupakan hal mengenai kepercayaan yang benar.
Tiga cara dalam mendefinisikan pengetahuan, yakni 1) dengan menitik beratkan pada konsep tentang bukti yang pasti (self-evident), 2)  melenyapkan perbedaan antara premise dari kesimpulan, dan menyatakan bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan yang seluruhnya bersifat koheren, 3) meninggalkan sama sekali konsep tentang “pengetahuan” dan menggantikannya dengan “kepercayaan-kepercayaan yang mendorong sukses” (Descartes Hegel, dan Dewey).
Teori koherensi dan teori instrumentalisme dikemukakan oleh para pendukungnya sebagai teori “kebenaran”. Namun Suriasumantri menganggap itu tidak sebagai teori kebenaran tetapi sebagai teori pengetahuan.
Hakekat pengetahuan adalah bersifat derajat. Derajat tertinggi ditemukan dalam fakta persepsi, dan dalam keyakinan yang diberikan oleh argumentasi yang sangat sederhana.

Daftar Pustaka
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


No comments:

Post a Comment