Rian mencintai Aisyah sejak lama. Bukan cinta yang menggebu-gebu seperti di film-film, tapi cinta yang tumbuh dalam kesederhanaan. Ia mencintai Aisyah dalam diam, dalam perhatian-perhatian kecil yang mungkin tak pernah disadari gadis itu.
Setiap pagi, Rian selalu memastikan bangku Aisyah di kelas bersih dari debu. Saat hujan turun dan Aisyah lupa membawa payung, Rian akan dengan sengaja menunggu di gerbang sekolah, berpura-pura sedang menunggu hujan reda, lalu menawarkan payungnya. Tapi Aisyah hanya menganggapnya sebagai teman baik.
Ketika Aisyah jatuh cinta pada laki-laki lain, Rian hanya bisa tersenyum. Ia mendengarkan dengan sabar setiap cerita Aisyah tentang pria itu tentang betapa tampannya, betapa baiknya, betapa sempurna di matanya. Rian tahu ia tidak bisa menyaingi itu, jadi ia memilih untuk tetap di sisinya sebagai sahabat.
Namun, tidak semua cinta berakhir bahagia. Suatu hari, Aisyah datang dengan mata sembab. Pria yang ia cintai mengkhianatinya, meninggalkannya tanpa penjelasan. Rian ingin marah, tapi ia tahu, yang dibutuhkan Aisyah saat itu bukan kemarahan, melainkan bahu untuk bersandar.
“Aku bodoh ya, Rian?” suara Aisyah lirih, hampir berbisik.
Rian menggeleng pelan. “Tidak, kamu hanya terlalu tulus. Sayangnya, tidak semua orang bisa menghargai ketulusan.”
Mereka duduk berdua di bawah pohon dekat taman, membiarkan angin malam membawa luka Aisyah perlahan pergi. Rian tak berkata banyak, hanya diam menemani. Karena terkadang, diam adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak sendirian.
Hari-hari berlalu, luka Aisyah perlahan sembuh. Tapi Rian tetap sama, mencintai dalam diam, memberi tanpa meminta balasan. Hingga suatu hari, Aisyah menyadari sesuatu bahwa selama ini, ada seseorang yang selalu ada, yang tak pernah pergi meski ia terus berpaling.
“Aku selama ini buta, ya?” Aisyah menatap Rian dengan mata berkaca-kaca.
Rian tersenyum, senyum yang selalu sama. “Enggak. Kamu hanya butuh waktu untuk melihat.”
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Aisyah menggenggam tangan Rian. Bukan karena takut kehilangan, tapi karena akhirnya ia sadar, bahwa cinta sejati tidak selalu datang dengan kata-kata terkadang, ia hadir dalam bentuk seseorang yang tak pernah lelah menunggu.
Cerpen "Teman Ngopi"
No comments:
Post a Comment