Di sebuah ruangan sederhana di Istana Merdeka, Ir. Soekarno duduk di kursinya dengan sorot mata tajam. Beberapa pemuda yang diundang hari itu mendengarkan dengan saksama, menanti wejangan dari sang proklamator.
"Anak-anakku," ujar Bung Karno, suaranya tegas namun penuh kehangatan, "kalian mungkin berpikir perjuangan telah selesai setelah kita merdeka pada 17 Agustus 1945. Tapi jangan salah, justru perjuangan yang lebih berat menanti di depan."
Para pemuda saling berpandangan, kebingungan. Salah satu dari mereka, seorang mahasiswa bernama Rahmat, mengangkat tangan.
"Maksud Bung Karno, perjuangan apa lagi? Bukankah kita sudah terbebas dari penjajahan?" tanyanya hati-hati.
Bung Karno tersenyum tipis, lalu bersandar. "Dulu kita berjuang mengusir penjajah dari negeri ini. Tapi sekarang, perjuangan kita adalah melawan diri sendiri melawan keserakahan, kebodohan, dan perpecahan di antara anak bangsa. Itulah musuh yang jauh lebih sulit ditaklukkan."
Ruangan itu sunyi sejenak. Kata-kata Bung Karno menusuk hati para pemuda yang hadir. Mereka mulai menyadari, perjuangan tidak hanya tentang angkat senjata, tetapi juga mempertahankan persatuan dan menghindari kehancuran dari dalam.
Rahmat menunduk, merenung dalam-dalam. Ia teringat banyaknya pertikaian yang mulai terjadi, kelompok-kelompok yang saling menjatuhkan demi kepentingan pribadi.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Bung?" tanyanya pelan.
Bung Karno menatap mereka satu per satu sebelum menjawab, "Cintai negeri ini lebih dari cintamu pada diri sendiri. Jangan kau jual bangsamu demi kepentingan pribadi. Jangan kau khianati darah para pejuang yang telah mengorbankan nyawa demi kemerdekaan ini."
Seorang pemuda lain, Syarif, mengangguk penuh semangat.
"Tapi bagaimana jika ada orang-orang yang hanya ingin mencari keuntungan sendiri?" tanyanya geram.
Bung Karno menghela napas panjang. "Maka tugas kalianlah untuk mengingatkan, menegur, bahkan melawan mereka dengan cara yang benar. Lawan dengan ilmu, dengan kerja keras, dan dengan semangat persatuan. Jangan biarkan bangsa ini tercerai-berai karena keserakahan."
Suasana menjadi semakin khidmat. Para pemuda itu sadar, mereka punya tanggung jawab besar terhadap masa depan bangsa. Mereka bukan hanya penerus kemerdekaan, tetapi juga penjaga nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Saat mereka berpamitan, Rahmat menggenggam erat tangannya sendiri. Ia bertekad, tidak akan membiarkan bangsa ini hancur oleh ulah anak bangsanya sendiri. Perjuangan memang belum selesai, dan ia siap menjadi bagian dari sejarah yang menjaga kejayaan Indonesia.
Di depan istana, ia menatap langit senja. Merah putih berkibar gagah di angkasa, mengingatkannya bahwa Indonesia bukan sekadar tanah air, tetapi sebuah amanah yang harus dijaga dengan segenap jiwa dan raga.
***
Pena Kopi Pagi
No comments:
Post a Comment